Tosan Aji, pusaka Nusantara yang telah diakui sebagai warisan dunia, telah menjadi bagian terpisahkan dari kehidupan kultural Jawa khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Mahakarya seni temp ini telah bermetamorfose selama lebih dari dua milenium sejarah peradaban jam. Bermula dari sebilah senjata tikam sejak peradaban masa perunggu, tosan aji telah berubah menjadi benda simbolik yang menyimpan beragam makna, penanda kedudukan, hingga harapan akan kehidupan masa depan yang Iebih baik. Berbagai unsur pembentuk wadag dan ricikan pelengkap anatomi bilahnya, menjadi penanda capaian peradaban yang tak henti-hentinya menjadi bahan kajian yang tak jarang masih menyisakan beragam tanda tanya yang menantang para akademisi hingga pelestari tradisi untuk menyingkapnya.
Sebagai bagian dari kelengkapan busana Jawa, tenon oji dikenakan dengan menyarungkannya ke dalam warangka yang menjadikan bilah tajam tersebut bukan hanya aman dikenakan, namun juga memancarkan pesona estetika kaya makna.
Di kalangan para pecinta dan pelestari tradisi tosan aji, sosok pria bernama lengkap Wusanto Harjanto Wigardo, hidup bagaikan legenda.
Lahir pada 4 Jug 1944 dengan nama kecil Wusanto, la mulai menggeluti dunia perkerisan sejak usia 16 tahun. Belajar perkerisan dikarenakan dititipkan oleh ayahnya R. Tjuriga Wigardo, seorang abdi Dalem Keraton Yogyakarta golongan ngrimat pusaka Dalem, kepada seorang juru kriya warangka keris,Adi Sumarto yang waktu itu kondang di Yogyakarta.Dalam keterbatasan alat dan keadaan, bakatnya terasah dan berkembang dilandasi oleh ketekunan serta kesabaran telah menjadikannya rnenjadi seorang Mranggi, yakni sebutan bagi seseorang yang memiliki keahlian khusus mengukir warangka. Akurasinya dalam mengenali karakter berbagai jenis kayu langka dan kemahirannya dalam meraut bahan termasuk menangani kerumitan pola-pola kayo diakui secara lugs di kalangan pecinta Tosan aji yang menobatkannya sebagai salah satu dari sedikit mranggi terbaik se-Jogja hingga saat ini.
Setelah melalui waktu pengabdian selama lebih dari empat dekade, Tantangan terbesar yang dihadapinya saat ini adalah mewariskan spirit gagrak ngayogya yang dikuasainya kepada anak didiknya. sari beberapa anak didik yang sempat diasuhnya, hanya seorang-dua orang saja yang dianggapnya memiliki kepekaan estetika baku pada warangka yang dikenal dengan ungkapan 'tarns tapir ngayang bati,r'. lni menjadi kegelisahannya ketika yarn pengrajin saat in dianggap cenderung kurang dalam pembelajaran seni ukir warangka.
Dalam kondisi fisik yang semakin renta selama hampir tiga tahun terakhir, pak Wusanto terpaksa berhenti berkarya. Gangguan penglihatan yang lazim diderita oleh warga lanjut usia, nyaris tak teratasi di usia senjanya. "Sebenarnya bapak sudah sempat menjalani operasi (katarak)" ujar salah satu anggota keluarga yang mendampinginya sore itu. Namun, "untuk operasi (tahap) kedua, sudah tidak memungkinkan lagi.Karena kondisi kesehatan Bapak."
Memegang teguh idealisme yang tak tergoyahkan, Pak Wusanto telah mengatasi godaan untuk menuruti kehendak pasar. Dan ini sungguh telah menguji kesabaran para pecinta. Dalam usia senjanya, seorang pemilik bilah keris harus bersabar menunggu hingga satu bulan, hingga pusakanya benar-benar manjing kedalam warangka hasil karyanya.
Bagaimanapun juga, ketekunan, kesabaran, serta kepekaan estetik seorang Wusanto dalam memandang kekayaan alam yang terpola dalam urat-urat kayu langka,telah menciptakan warangka, busana bagi bilah-bilah berpamor yang saat ini telah diakui sebagai warisan budaya dunia. `