Trah RT. Singolodra

Dilereng selatan Gunung Kamal atau puncak Canthuk, Dukuh Tonobakal Kalurahan Hargomulyo Kapanewon Kokap Kabupaten KuIon Progo terdapat sebuah makam keluarga Bupati yang disebut sebagai makam Giripurna. Makam Giripurna oleh masyarakat Kulon Progo juga sering disebut sebagai makam Sireyap — berarti rambut perempuan yang terurai panjang — karena letaknya tidakjauh dan sebuah cekungan batuan yang menyerupai gua yang disebut"Goa Sireyap". Disebutkan dalam cerita lokal, bahwa di Goa Sireyap sening ditemukan orang hilang atau sering disebut di gondhol wewe (dibawa lari kuntilanak). Nama Reyap dalam pemahaman masyarakat Tonobakal identik dengan perwujudan rambut dari kuntilanak tersebut. Berbeda dengan keturunan Singalodra maupun kalangan lainnya yang menyebutkan sebagai makam Sireap-Giripurna, masyarakat di Temon dan perbatasan Kokap seperti di Tonobakal justru menyebut makam Giripurno sebagai 'makam gendheng'. Istilah ita muncul karena sampai tahun 1946 atap genting makam vana berwarna merah dipunggung (geger) Gunung Kamal tersebut dapat dillihat secara langsung oleh masyarakat dan jalan Raya Provinsi (Yogyakarta-Purworejo). Istilah 'Gendheng' juga menunjukan keistimewaan fisik bangunan makam path sekitar tahun 1930-an karena atap rumah penduduk di sekitar Temon atau alang — alang (welik) maupun ijuk. Pada masa tersebut atap genting hanya umum digunakan untuk kantor dan pusat pemerintah lokal. Meskipun terdapat tiga nama bagi Makam Singalodra, seperti makam Giripurno, Makam Sireyap, dan Makam Gendheng, nanau dalam realitanya masyarakat dan keturunan Singalodra dapat memahami bahwa istilah nama makam berbeda — beda tersebut merujuk pada makam Singalodro dan keluarganya yang pernah memimpin dari sebagian wilayah Kabupaten Adikarto pada transisi abad-20. Keberadaan makam tersebut pada awal abad ke-20 semakin dikenal oleh masyarakat di Kulon Progo dan Adikarta ketika pejabat Ngongkek yaitu K.T. Suratani I dan Bupati pertama kali Adikarta penerus dan pemerintahan Kabupaten Karang Kemuning yaitu Raden Rio Wasadirja I (menjabat 1898 -1904) di makamkan di makam Ginipurno peda tahun 1918. Terkenalnya makam Ginipumo bukan saja karena lokasi tersebut untuk menguburkan beberapa tokoh penting pemerintahan Adikarta. Pelaksanaan Nyadran Singalodra yang sejak awal telah dirintis oleh KT Wasadirja pada dekade pertama abad ke-20. Nyadran Singalodra tersebut kemudian secara rutin terus diadakan oleh para keturunan Singalodra yang tersebar di berbagai wilayah di Puiau Jawa, bahkan Indonesia serta ditetapkan menjadi sebuah tradisi Nyadran oleh Bupati Kulon Progo pertama kali yaitu K.R.T. Surjaningrat. Sebagian masyarakat Kulon Progo kemudian mengetahui bahwa tradisi Nyadran Singalodra tersebut dipandang sebagai tradisi tahunan. Karenanya masyarakat sekitar makam sangat menghormati tokoh —tokoh "Yang Semare" di makam Giripurno, maka lurah dan masyarakat Banjaran mengikuti dan mendukung upacara Nyadran ini dan menyebutnya dengan NYADRAN AGUNG giripurna atau NYADRAN AGUNG KyTumenggung Singalodra. Tidak dapat dipungkiri bahwa situs makam Giripurno berisi tokoh —tokoh penting yang memiliki latar belakang historistersendiri bagi kalangan masyarakat Adikarto. Surjaningrat (1976) menyebutkan bahwa situs makam singalodra pada awalnya (pasca perang jawa) kurang terurus karena keturunannya banyak yang tinggal di wilayah Nanggulan. Berbagai usaha kemudian dilakukan kembali mengenang jasa —jasa para leluhurnya yang dimakamkan Giripurna. Peserta Nyadran Singalodra disebutkan dihadiri oleh keturunan trah Sigalodra dari berbagai penjuru daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah maupun Kota — kota di Pulau Jawa. Dalam pelaksanaan Nyadran Singalodra juga dihadiri oleh keturunan Trah Singalodra, maupun masyarakat Janten dan Tonobakal yang beragama islam, maupun Non- Islam. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui peserta yang hadir oleh pengurus atau keluarga tidak dibatasi pada keyakinan atau agama tertentu. Selain itu, dimakam giripurna juga dipenuhi dengan berbagai keragaman acara kegiatan tata cara berdo'a dan ziarah oleh keturunan Trah Singalodra, seperti diadakan tahililan dengan cara praktik islam, maupun acara peringatan Natal dan tahun baru (sejak tahun 1980 sampai saat ini) (Dwiyanto 2004:8) dan acara ibadah Misa Arwah setiap selasa ke-4 pada bulan November oleh keturunan Singalodra yang beragama Nasrani. Acara Nyadran Singalodra sejak masa awal dilakukan telah dihadiri oleh keturunan Tionghoa. Disebutkan bahwa keturunan dari trah singalodra juga terdapat dari keturunan Tionghoa seperti keturunan dari RNgt. Martadiharja (Godean Sleman). Keluarga ini merupakan putra K.T. Suratani I dai istri perempuan Cina dan Bagelen Tentang kehadiran Keturunan Tionghoa diacara Nyadran Singalodra sampai sekarang masih terus berlangsung, terutama dari kawasan berbagai penjuru Indonesia. 

Acara Nyadran Singalodra yang dimulai jauh sebelum kemerdekaan tersebut menghadirkan nuansa interaksi sosial yang baru. Hal itu nampak ketika masyarakat Janten dan Tonobakal kemudian dapat duduk bersama dalam acara Nyadran Singalodra dengan Keluarga Trah Singalodra. Meskipun masyarakat sekitar Giripurno telah mewarisi kesadaran kolektif turun menurun yang menyatakan bahwa Trah Singalodra adalah kalangan elit sosial (Priayi), namun dalam acara nyadran maka semua kemudian menjadi duduk bersama dan menyatu.Ciri khas unik yang disebut sebagai wewaler yang diwariskan oleh K.P.H. Suryaningrat yaitu kewajiban pembuatan ambeng Rasulan bagi keluarga yang memiliki ahli kubur di makam giripurno. Acara nyadran digelar dengan beberapa urutan ritual, seperti ziarah kubur, tahiilan, dan berkatan yang melibatkan masyarakat disekitar makam Giripurno dan keluarga besar trah singalodra. Rutinnya penyelenggaraan Nyadran Singalodra dan meningkatnya jumlah peserta disetiap tahunnya kemudian membuat pengurus trah singalodra mengumpulkan dana untuk menunjang pelaksanaan tradisi Nyadran. Dana tersebut digunakan untuk pembangunan makam Giripurno, meliputi perbaikan sarana dan perluasan lokasi pemakaman bagi keturunan Singalodra. 

Momentum acara Nyadran Singalodra yang dirintis sejak masa Bupati Adikarto pertama dan diputuskan menjadi tradisi besar keluarga Trah Singalodra oleh Bupati Pertama Kulon Progo (K.R.T. Surjaningrat) secara tidak langsung memberikan inspirasi baru dan penting bagi penyelenggaraan Nyadran Agung yang diadakan oleh pemerintah Kulon Progo. Nyadran Agung di Kulon Progo mulai dilakukan sejak kepemimpinan Bupati Drs. H. Suratidjo (menjabat 1991 -2001) dan kemudian diperbesar acaranya oleh Bupati H. Toyo Santoso Dipo (menjabat 2001 - 2011). Dalam konteksnya, acara nyadran agung di Kulon Progo tujuannya hampir sama dengan Nyadran Singolodra yaitu mengenang dan mendoakan arwah para pendahulu yang telah membangun 'Bumf Kulon Progo' (Raufaidah & Sayekti 2018 : 171). Dedikasi dan Nyadran Singalodra ini baru di Kabupaten Kulon Progo, khususnya dalam mengenang perjuangan para pendahulu. Dari sajian fakta — fakta historis di atas, dapat disebutkan bahwa makam Giripurno menyimpan jasad — jasad tokoh penting pembangunan wilayah Adikarto pada masa sebelum kemerdekaan. Dimulai dari keturunannya, kemudian dirintis usaha untuk mengenang para tokoh dan leluhur tersebut melalui pemeliharaan makam, ziarah, dan nyadranan yang dilakukan oleh keluarga Singalodra di Plumbon (lemon). Usaha merintis Nyadran Singalodra di makam Giripurno dan dibagi dengan beberapa periode atau tahap penting, seperti tahap awal yang dimulai oleh R.T. Wasadirja (wafat 1918) pada tahun 1900. Rintisan nyadran disebut kemudian diiringi dengan usaha pemugaran dan perluasan area makam Gripumo oleh R. Soengkono Soekodiprodjo / K.R.T Surjaningrat (sejak 1926) dan pembangunan akses jalan masuk ke makam oleh R. Danusumarta (Patih Banyumas) path tahun 1934 — 1936. Periode penting selanjutnya adalah pada masa 1900 — 1936 yang dapat disebutkan sebagai masa rintisan awal nyadran mulai dikenalkan kepada keluarga dan masyarakat di sekitar makam Giripurno. Perkembangan selanjutnya, adalah periode 1937 -1959 ketika K.R.T Surjadiningrat mulai merintis usaha Nyadran Singalodra dapat menjadi sebuah acara yang monumental di Adikarto. Usaha tersebut kemudian diteruskan pada periode 1970 — 2004 ketika Nyadran Singalodra ditetapkan menjadi tradisi tahunan bagi keluarga Singalodra dan masyarakat sekitar makam Giripurno. Tahap selanjutnya adalah periode 2004 — sekarang ketika pengelolaan tradisi Nyadran Singalodra telah dikembangkan dengan berbagai variasi jenis kegiatan dan pembangunan makam yang memiliki fungsi sosial bersifat internal dan eksternal yang luas. Nyadran Singalodra telah memiliki peran penting dalam perkembangan peradaban baru bagi masyarakat dan pemerintah Kabupaten Kulon Progo, seperti munculnya Nyadran Agung (sejak awal tahun 1990) serta keberhasilannya dalam membuka interaksi yang luas bagi keturunan Kulon Progo untuk mengenang kembali jati dirinya sebagai warga asli Kulon Progo melalui even nyadran, maupun peringatan acara penting lainnya (syawalan, misa arwah, natalan, dll). Even Nyadranan Singalodra juga memiliki peran penting dalam mendistribusikan nilai — nilai sosial — budaya Jawa seperti menghormati leluhur, bersih kubur, kirim dunga, lan bekti maring leluhur kepada masyarakat di Kulon Progo. Selain itu, pelaksanaan Nyadran Singalodra secara tidak langsung juga mengajarkan toleransi yang moderat ketika berbagai keberagaman hadir menjadi satu pada acara nyadran tersebut. Semua hal tersebut kemudian mendapat respon yang positif bagi masyarakat Kulon Progo, seperti dukungan masyarakat dan pejabat pemerintah, serta kontribusi manfaat akses infrastruktur kepada masyarakat di sekitar makam Giripumo. Semua itu menunjukkan bahwa Nyadran Singalodra memiliki ekstensi sosial — budava yang sangat relevan untuk pembangunan manusia berbudaya dewasa ini.*** 

Foto Bersama
Foto Bersama
Bpk R. Supantoro dan Bp Bambang Setyono
Bpk R. Supantoro dan Bp Bambang Setyono
Siti Noorsubaryati
Siti Noorsubaryati