Temu Haryono yang didalam lingkungan masyarakat pedukuhan Blarangan, kelurahan Sidorejo, kapanewon Ponjong, kabupaten Gunung Kidul akrab dipanggil mBah Temu, merupakan sosok petani yang tangguh dan ulet. Selain dalam kesehariannya hidup sebagai petani, mBah Temu oleh masyarakat kelurahan Sidorejo juga diberi kepercayaan sebagai juru kunci merawat makam Raden Mas Tumenggung Djojodikromo Suseco Ludiro. Amanah dari masyarakat dan tanggung jawab yang dibebankan kepada mBah Temu untuk merawat makam Raden Mas Tumenggung Djojodikromo Suseco Ludiro sudah berjalan kurang lebih 27 tahun. Kesungguhan dan ketulus-ikhlasan pengabdiannya merupakan wujud dharma bakti, bekerja tanpa pamrih,setia melayani masyarakat.
sebagai juru kunci makam, mBah Temu bersama mBah Bedi sebagai Kaum Ro'is melaksanakan upacara adat tradisi yang dikenal dengan sebutan Nyadran Ingkung Sewn. Kegiatan upacara adat tradisi nyadran tersebut dilaksanakan setiap tanggal 15 Ruwah di tahun Jawa diikuti oleh seluruh masyarakat pedukuhan Blaranagan, kelurahan Sidorejo, kapanewon Ponjong kabupaten Gunung Kidul. Menurut bapak Sidiq selaku lurah Sidorejo (wawancara: 8 September 2022) upacara Nyadran Ingkung Sewu tidak hanya diikuti oleh warga masyarakat pedukuhan Blarangan tetapi juga masyarakat di luar kelurahan Sidorejo, bahkan ada juga yang dari kabupaten Kulon Progo, Kebumen, Purworejo, dan Magelang. Dikatakan bahwa mBah Temu selain sebagai juru kunci makam Raden Mas Tumenggung Djojodikromo Suseco Ludiro, beliau juga sebagai petugas pembagi air sumur bur, yang mengalirkan dan membagikan air ke sawah secara bergantian kepada masyarkat yang menggunakannya, sehingga Lurah sidorejo menyampaikan bahwa mBah Temu itu bukan saja pengabdiannya kepada masyarakat tetapi pengorbanannya yang sangat luar biasa. Dengan usianya yang sudah mencapai 72 tahun mBah Temu tetap tekun, tatag, dan tangguh melaksanakan kewajibannya mengalirkan air dari sumur bur meskipun harus berjalan sampai 1-2 kilometer jauhnya. Dedikasi dan pengorbanan yang tulus ikhlas tersebut menjadi tauladan serta tepa palupi bagi masyarakat pedukuhuan Blarangan khususnya dan kelurahan Sidorejo pada umumnya dengan mengakui serta menyebut mBah Temu sebagai sosok yang Sepi ing pamrih, rame ing gawe. Demikian ungkapan masyarakat pedukuhan Blarangan kelurahan Sidorejo Terhadap mBah Temu atas pengorbanan tenaga dan waktunya.
Upacara adat tradisi Sadran/Nyadran memiliki makna adanya hubungan manusia dengan leluhur yang mengisyaratkan adanya rasa kecintaan, dan balas budi kepada leluhurnya (Marton°, et al. 2003: 23). Demikian juga upacara adat tradisi Nyadran Ingkung Sewu semula adalah merupakan ungkapan rasa syukur masyarakat pedukuhan Blarangan kepada Tuhan Sang Pencipta atas hasil panen yang didapatkan. Ungkapan rasa syukur tersebut diwujudkan dengan menggelar Sedekah Bumi Wudhuk Ingkung yang dalam perkembangannya disebut Nyadran Ingkung Sewn. Sebutan Ingkung Sewu dikarenakan masyarakat yang mengikuti upacara nyadran/Ruwahan di makam Raden Mas Tumenggung Djojodikromo Suseco Ludiro masing-masing membawa sesajen yang berisi ingkung. Dad banyaknya ingkung yang dibawa dalam upacara nyadran/Ruwahan itulah maka kemudian dikenal dengan upacara Nyadran Ingkung Sewu.
Pekerjaan merawat makam Raden Mas Tumenggung Djojodikromo Suseco Ludiro yang dilakukan oleh mBah Temu sejak tahun 1995 hingga sekarang bukanlah pekerjaan yang mudah.Temu Haryono(mBah Temu) mengetahui dan menyadari bahwa beliau tidak hanya sadar atas lingkungannya, tetapi juga sadar bahwa Temu Haryono adalah bagian dari lingkungan tersebut (Smita Prathita Sjahputri, 2009: 1179). Dalam menjalankan suatu pekerjaan yang dilakukan dengan laku" spiritual ada banyak syarat dan tata cara yang harus dilaksanakan, diantaranya dengan sukarela menyiapkan uba rampe sesajen yang merupakan manifestasi rasa syukur serta merupakan lambang permohonan untuk dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, tulus dan ikhlas menyediakan waktu kapanpun untuk menerima dan mengantarkan tamu yang datang ziarah ke makam Raden Mas Tumenggung Djojodikromo Suseco Ludiro. Oleh karena itu apa yang sudah dilakukan mBah Temu dengan tulus ikhlas, tanpa pamrih, dan tetap memiliki semangat yang tinggi meskipun tidak mendapatkan imbalan, tujuan utamanya adalah untuk melestarikan, merawat budaya tradisi yang mengajarkan nilai-nilai etis, estetis, dan logis kepada seluruh masyarakat pemiliknya agar kehidupan didaerahnya senantiasa guyub-rukun, tertib damai dalam kehidupannya. Dalam perkembangannya upacara adat tradisi Nyadran Ingkung Sewu yang semula dilaksanakan dengan cara kejawen, kini tujuh (7) tahun terakhir sudah diwarnai dengan doa Dzikir bahkan jugs pengajian. Hal inilah yang menambah kekuatan dan keteguhan hubungan antar masyarakat yang guyub-rukun,tertib-damai,toleransi,danedukatit.
Sebagai respon atas dedikasi dan pengorbanan mBah Temu (Temu Haryono, lahir pada tanggal 03 Maret 1950 di Yogyakarta) yang sudah 27 tahun dengan tulus ikhlas ikut melestarikan budaya tradisi dengan merawat upacara adat tradisi Nyadran Ingkang Sewu di pedukuhan Blarangan, kelurahan Sidorejo, kapanewon Ponjong, kabupaten Gunungkidul, sehingga secara tidak langsung dengan keberlangsungan upacara tersebut membawa pedukuhan Blarangan khususnya dan kelurahan Sidorejo pada umumnya menjadi salah satu tujuan destinasi wisata religi. Temu Haryono dikenal oleh masyarakat setempat sebagai seorang yang sabar, santun, penuh rasa tanggung jawab dalam melaksanakan pekerjaannya.***