Slamet Haryadi

Dikenal luas sebagai Slamet Haryadi, guru pada banyak dhalang anak melalui Sanggar Pengalasan, sekolah dalang yang ia dirikan dan kelola dengan penuh kerelawanan dan keswadayaan. Pada galibnya, Slamet seorang guru. Sarjana pendidikan. Tidak heran, kalau sanggar dikelola seperti layaknya "sekolah". Selebihnya, Slamet Juga seniman tari. Penari dan penata tari. Dan, yang jauh lebih tercatat, Slamet seorang aktivis budaya. Sepanjang hidupnya, diabdikan untuk mengabdi pada gerakan budaya, menghidupkan seni di lingkungannya. 

Meski Slamet merintis, mendirikan, dan mengelola "sekolah dalang" khusus untuk anak-anak sejak tahun 90-an, tetap saja rendah hati menyatakan bahwa dirinya bukan dalang. Walaupun, Slamet memberanikan diri menerima estafeta dalang Wayang Beber dari warisan budaya lembar wayang beber episode "Panji Remeng" yang ada di tetangga desanya, Bejiharjo. Slamet menerima sambung estafet itu dari Ki Natasukardiya, dalang wayang beber sedesa dengannya, Wiladeg, Karangmojo, Gunungkidul. Setiap kali wayang beber itu dibuka dan dimainkan, Ki Slamet Haryadi diminta menjadi dalangnya. 

Di rumahnya, sekaligus markas Sanggar Pengalasan, selain menjadi tempat berlatih tari dan seni-seni lainnya, yang menjadi fokusnya adalah penyelenggaraan "sekolah dalang", utamanya untuk wayang kulit purwa. Siswanya dari kalangan anak-anak dari seantero Gunungkidul dan beberapa datang dari luar daerah. Slamet sendiri yang harus menyiapkan sarana dan prasarana latihan. Berbekal dari pengalaman sebagai seorang guru, meski bukan seorang dalang, bukan pula keturunan dalang, Slamet memberanikan diri menjadi "guru dalang", sebatas pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Dasar punya bakat seni, pengetahuan dan keterampilan pun dipelajari dan mendapatkan materi yang cukup sehingga secara metodologis dapat diajarkan, dilatihkan dan diberikan kepada peserta didik. Slamet sangat gembira ketika mulai ada perhatian bantuan dad berbagai pihak untuk meringankan bebannya. Bahkan ketika sejumlah alumni telah menjadi sarjana seni dan bersedia mendarmabaktikan sebagai pengajar di Sanggar Pengalasan menjadikan Slamet seakan memperoleh kebahagiaan tak terkira. 

Slamet menstruktur sekolah dalangnya ini seperti layaknya suatu sekolah formal. Ada tingkatannya, ada kurikulumnya, ada metodenya, ada media nya, ada pengajarnya, ada proses kegiatan belajar mengajarnya, ada evaluasinya. Bahkan sistem administrasi pendidikannya pun disusun mirip sekolah, ada nomor induk, ada rapot, ada data konseling, surat tanda tamat, dan daftar alumni. Saat ini, sejumlah alumni Sanggar Pengalasan yang telah lulus menjadi sarjana di berbagai program studi, ada beberapa yang membantu mengabdi sebagai guru atau mentor di Sanggar Pengalasan. Kenyataan penting lain, Slamet rajin menyertakan siswanya mengikuti kompetisi dalang di tingkat lokal, daerah, maupun nasional. Banyak di antara mereka yang memenangkan lomba dan selanjutnya berkembang menjadi dalang laras dengan perjalanan usianya. Bahkan, lulusan Sanggar Pengalasan berprestasi sebagai dalang cilik ditingkat nasional seorang di antaranya malah sudah diminta memainkan wayang di Amerika Serikat. 

Selama menyertakan anak didiknya ke arena kompetisi, Slamet memberikan porsi latihan tambahan dan mendampingi langsung mereka ke arena lomba. Slamet tidak pernah merasa lelah mengantar anak didiknya di lokasi perlombaan seni pedalangan di Yogya, Jakarta ataupun luar kota lainnya.Slamet Sangat Sering mengirim lebih dari satu anak didiknya, laki atau perempuan. Jika sudah dipandang cukup untuk masuk gelanggang kompetisi, Slamet akan memotivasi mereka agar berani dan riang gembira masuk ke ajang kompetisi. Slamet tidak pernah melupakan partisipasi dan perhatian orangtua dalang cilik. Sanggar Pengalasan yang dikelolanya secara swadaya dan mandiri dalam pandangan Slamet harus mendapat dukungan dan partisipasi dari orangtua anak. Slamet mengedepankan suasana dialog, gotong royong, dan musyawarah dengan orangtua murid. Dalam penyelenggaraan pembelajaran tidak membutuhkan biaya seberapa, namun jika sudah pentas atau mengirim kontingen, pasti harus keluar biaya ekstra. Slamet tidak pernah mengeluh atau sambat, semua dikelola dengan ketulusan dan kerjasama berbagai pihak. Berulang-ulang siswa Sanggar Pengalasan memenangkan kompetisi dalang cilik. Prestasi itu membuat Slamet berbahagia namun terus merasa belum cukup karena tujuan pendidikan pendalangan yang diselenggarakan sejatinya untuk berperan serta dalam upaya pembangunan jatidiri bangsa melalui pendidikan karakter lewat jalan berkesenian. 

Slamet mengaku bahwa menjadi dalang bukan tujuan utama pembelajaran di sanggarnya. Slamet lebih menekankan tumbuhnya kecintaan di kalangan anak-anak atas budaya bangsa sendiri. Melalui pelatihan dalang, atau pertunjukan wayang Slamet berharap anak-anak asuhnya mampu mengenali dan mencintai karya budaya bangsanya. Kalau perlu punya pengalaman terlibat memainkannya melalui cara berlatih dengan kesiapan psikologis dan kematangan keterampilan dan kognisinya. Dalang dan dunia wayang, menurut Slamet bisa membuka cakrawala pandang anak yang meluas ke kecintaan pada musik (gamelan), gerak-gerak tarian, seni suara (antawecana, gunem, suluk dan tembang), sekaligus seni susastra (bahasa Jawa) yang bisa merembet pengaruhnya pada perilaku yang mewujud dalam unggah-ungguh (tata krama) kehidupan sosial pada anak-anak. 

Kesadaran pedalangan sebagai sumber pengembangan ekosistem budaya dalam pendidikan seni untuk anak menjadi naluri yang melekat pada din Slamet. Apalagi dia seorang pendidik, khususnya guru di SPG sehingga kedekatan kepada anak-anak menjadi bagian yang penting. Slamet sudah terlatih dan berpengalaman dalam menyusun koreografi tarian untuk anak-anak dan pelajar. Demikian pula format sendratari untuk kepentingan adat dan tradisi yang menjadi "profesi seni" yang lama digaulinya. Namun, ruang pembelajaran seni pada anak oleh Slamet Tidak hanya dikerjakan pada saat menerima order pentas secara insidental. Slamet ingin ada sesuatu yang rutin dilakukan anak-anak dalam proses berkesenian. Sanggarnya memang melatihkan tad, namun Slamet ingin mendorong sumbangsih yang lebih besar kepada pendidikan seni pada anak dalam suasana sehari-hari, secara informal, dan menyenangkan tetapi cukup dan mencakup. Seni pedalangan adalah salah satu pilihan untuk melengkapi kebutuhan pembangunan perkembangan kejiwaan anak. Dalam pedalangan ada asupan segi-segi musik, suara, gerak, rupa, sastra, dan pemeranan. Itulah yang mendorong Slamet sehingga bersedia bersusah payah menghidupkan sanggarnya karena pertumbuhan dan perkembangan anak memerlukan sentuhan pendidikan seni agar kecerdasan emosionalnya bisa terbangun. Pendekatan afeksi dan psikomotorik yang menjadi pendamping harmonis pendekatan kognisi. 

Slamet Juga menjadi abdi dalem kaprajan dan diberi paringan asma Mas Wedana Dwijawiharja. Lahir Di Gunungkidul,12 September 1953.Tinggal di Dusun Wiladeg RT 02 RW 8, Kalurahan Wiladeg, Kapanewon Karangmojo,Gunungkidul. 

Sebagai guru, Slamet mampu menjangkau dalam jabatan birokrasi pendidikan. Selain menjadi guru SPG, Slamet pernah juga menjadi penilik budaya, Kepala Cabang Dinas Pendidikan, dan terakhir sebagai Kepala UPT TK dan SD. Bersamaan dengan itu, Slamet juga pernah aktif menjadi Pengurus Ganasidi Gunungkidul, kemudian Pepadi Gunungkidul, dan anggota Pengurus Dewan Kebudayaan. Slamet juga motor Paguyuban Laras Jawi (karawitan), Perkumpulan Kendalisada (wayang orang), dan Sanggar Pengalasan (pendalangan anak). Tahun 2016 Slamet Sudah menerima penghargaan pengembangan pedalangan dari Bupati Gunungkidul. Mendapat Piagam Pelestari Wayang Beber, 2008 dari Menteri Pariwisata dan Kebudayaan Republik Indonesia. Penghargaan Pendamping Dalang Calk (2018) dari Universitas Negeri Yogyakarta. Telah banyak karya koreografi tad yang diciptakan dan dimainkan di wilayah Gunungkidul untuk berbagai keperluan. Karya budaya lembaga pendidikan dalang menjadi tapak jejak kiprah Slamet dalam pengabdian hidupnya.*** 

 

Memainkan Wayang
Memainkan Wayang
Slamet Haryadi
Slamet Haryadi