Marwoto

NAMA kondangnya, nama panggung Marwoto. Kadang ditambah, Marwoto Kawer. Nama panggung, membawa populer sebagai pelaku seni panggung dagelan. Sri Slamet Sumarwoto dikenal luas sebagai seorang komedian. Suatu pencapaian yang diperjuangkannya melalui keberlikuan sebagai pekerja panggung sejak kanak-kanak. Dan masa panjang itu, dilewatinya melalui seni pertunjukan kethoprak, kethoprak tobong. Meskipun Marwoto putra bintang kethoprak, pemimpin sebuah grup kethoprak ternama pada masanya, namun kariernya di kethoprak harus dimulai dari bawah: menjadi bala kepruk, pemain perangan. Sebelumnya, pada masa kanak-kanak sering disuruh naik panggung memerankan adegan anak, termasuk adegan tragis menangisi nasib keluarga.

Marwoto, melewati masa panjang sebagai prajurit tarung, sampai-sampai dalam masyarakat kethoprak tobong, ia dikenal sebagai jagoan dalam membawakan adegan perang, tarung fisik dengan trik-trik dan setengah akrobat, yang dibumbui humor dalam bentuk gerak tingkah laku. Bahkan, Marwoto sampai pernah memiliki “tugas khusus” dari juragan tobong kethoprak, yaitu dibelikan tiket bioskop untuk menonton film silat. Siapa tahu,  dalam film itu ada adegan tarung yang bisa diolah untuk “koreografi perangan” di panggung kethoprak tobong tempat ia  (sedang) bermain. Marwoto, sampai sekarang dikenal sebagai pemain kethoprak yang punya keterampilan memainkan senjata toya dalam perangan.

Sepanjang kariernya di kethoprak tobong sejak 1967, ia menjelajah berpindah-pindah main di satu grup tobong ke tobong lainnya. Menurut pengakuannya, dirinya bersama beberapa teman seangkatannya, dikenal sebagai pemain inggatan, karena sering berpindah-pindah grup kethoprak tobong.  Marwoto cukup panjang menghibur penonton melalui adegan tarung, mengandalkan gerakan adegan perkelahian nyaris tanpa harus berdialog dengan kata-kata. Bisa dibilang, Marwoto matang menyampaikan gurauan melalui adegan tanpa kata-kata, lelucon dalam pertarungan. Bakatnya terasah hingga ke tataran mencipta jurus tarung-tarung penuh anekdot pemancing tawa. Apalagi pada masa kejayaan kethoprak tobong, adegan perangan adalah adengan yang ditunggu-tunggu oleh penonton. Tarung panggung menjadi salah satu “komoditas andalan”, mata jualan penting kethoprak tobong memikat hati penonton. Harap maklum, Marwoto melewati masa panjang menaruhkan pengharapan rezeki hidupnya dari honor pada hasil penjualan karcis penonton. Marwoto mengalami asam manis pahit getir kehidupan kethoprak tobong.  

Meski memiliki kecenderungan pintar membuka ruang humor, namun Marwoto tidak langsung terjun ke dunia dagelan. Marwoto malah mencoba peruntungan menjadi pemain kethoprak dengan beragam peran menuju kebintangan dalam ragam peran protagonis dan antagonis. Jarang dicatat, bahwa Marwoto juga seorang pemain watak yang baik. Dengan kata lain, Martowo bukan hanya penjelajah grup tetapi juga seorang pengembara peran. Walau pada akhirnya dikenal luas sebagai seorang pendagel atau pelawak, namun pencapian Marwoto dalam seni peran pertunjukan tradisi tercatat memiliki riwayat yang perlu dibongkar lebih mendalam. Pada masa hidup tradisi dalam masyarakat kethoprak tobong, karier panggung mengisyaratkan persyaratan, harus diperjuangkan melalui proses bertingkat. Dimulai dari prajurit perangan (bala kepruk), menjadi pemain pecalan, baru mencapai pemain berdialog dalam peran  lapis ketiga (peran pendukung), lapis kedua (peran pembantu), sampai mencapai lapis peran-perang utama. Marwoto juga sering mengaku bahwa motif terbesar penjelajahan antar panggung tobong ketika itu benar-benar untuk mendapat penghidupan, ada yang bisa dimakan.

Marwoto dilahirkan di Yogyakarta, 21 Oktober 1952. Orangtuanya, Sujadi-Sujilah, pasangan bintang kethoprak dan pemimpin grup kethoprak ternama pada masanya. Sujadi atau Cokrojadi, tak lain adik dari legenda kethoprak Mataram, Cokrojiyo. Kakak dari pemain kethoprak Cokropardi. Karena peran besar orangtuanya di kethoprak, maka Marwoto sejak kecil sudah akrab dengan para pemain kethoprak lain sahabat orangtuanya. Termasuk, menjadi teman sepergaulan dengan anak-anak mereka. Sesama anak tobong. Dunia kethoprak menjadi asupan pengalaman harian. Kesibukan panggung tobong pula yang mungkin menyebabkan Marwoto tidak sempat menyelesaikan sekolahnya di SMEP (sekolah menengah ekonomi pertama).

Selain mengikuti tobong kethoprak orangtuanya, Marwoto menjadi lebih serius naik panggung ketika bersama ibunya, Sujilah, kakak perempuannya Sumiarsih dan adiknya Sri Sundari masuk dalam grup Wargo Utomo. Suatu grup yang dipimpin suami Sumiarsih. Akan halnya Sumiarsih ini pernah menjadi anggota panggung Sri Mulat Surabaya. Sejak usia sekitar 15 tahun itu Marwoto sudah naik panggung membuka babak baru hidupnya melalui profesi lama warisan orangtuanya: menjadi orang panggung. Hampir semua grup kethoprak tobong pernah disinggahi dan bermain di dalamnya. Tidak sebagai pendagel atau pelawak. Marwoto sering memimpin dan melatih satuan pemain perangan, memandu trik-trik panggung dalam membantu dalang dan tim artistik, dan menjadi pemeran penting dalam lakon.

Selain di Wargo Utomo, Marwoto juga mampir bermain di Wargo Mulyo (Ny Mulyodiharjo), Dahono Mataram (Suyatin), Ringin Dahono (Harjono), Darmo Mudo (Yusuf Agyl), Sinar Mataram, dan sejumlah tobong di wilayah budaya Klaten, Surakarta, Madiun, Pati, Tulungagung dan seterusnya. Masuk bermain pula di tobong kethoprak pimpinan Yuningsih dan masuk pula ke rombongan kethoprak gaya baru, Siswo Budoyo pimpinan Siswondo HS. Pergaulan Marwoto meluas dalam jaringan kethoprak dan panggung hiburan. Karenanya wajar apabila Marwoto menguasai pengalaman teknik latihan dan pengembangan seni pertunjukan dari berbagai wilayah budaya. Marwoto mengenali tipologi humor ala Surabaya Jawa Timuran, gaya Sri Mulat,  gaya Madiun-Panaraga dan gaya kawasan budaya Surakarta, kawasan budaya pesisir dan tentu saja wilayah budaya Mataram Yogyakarta.

Karier penuh menekuni pola dagelan Mataram serta dunia humor panggung, ketika akhir dekade 80-an Marwoto bergabung ke Kethoprak Sapta Mandala. Oleh Handung Kussudyarsana, salah seorang pemimpin di Sapta Mandala, Marwoto diajak mengolah dekontruksi lakon untuk tujuan sajian kethoprak komedi. Lahir lakon putar balik logika, “Damarwulan Dudu Senapati”, suatu lakon yang keluar dari patron mapan menjadi lakon penuh gurauan dan sindiran, ringan, lucu, dan menghibur. Meluncur kemudian lakon-lakon rekaan dekonstruktif dari lakon-lakon mapan. Perjalanan kethoprak komedi ini di Sapta Mandala digemari penonton yang kemudian oleh sejumlah kreator diolah dan melahirkan “kethoprak plesetan” (tahun 90-an) yang Marwoto menjadi salah seorang pemainnya.

Idiom dagelan yang semula terintegrasi dalam peran-peran klasik kethoprak yang dimainkan oleh ayah dari 8 anak ini di banyak grup, dalam kurun panjang kethoprak tobong rutin dan mulai merambah kethopak panggung insidental. Keahliannya terkuak melalui peristiwa budaya ini bahwa Marwoto memiliki kekuatan daya ledak sebagai seorang humoris. Apalagi Marwoto juga dekat dengan dunia dagelan di kethoprak tobong, dekat dengan lawakan format Sri Mulat, dan berkomunikasi harian dengan pelaku dagelam Mataram di Yogyakarta. Marwoto makin berkembang menjadi seorang komedian panggung, dikenal makin luas ketika karier di lajur ini ditekuni dengan penuh disiplin dan dirawat secara terus menerus. Marwoto bergabung ke dalam kethoprak humor, merapat ke personal Sri Mulat, berpasangan dengan bintang lawak dari berbagai daerah, melayani tampilan bersama seniman selajur untuk penghiburan melalui format dagelan Mataram ataupun lawakan lepas ataupun bintang tamu peristiwa budaya lainnya. Boleh dibilang, pergaulan Marwoto yang luas dalam berbagai wilayah budaya, menjadikan ia luwes tampil di berbagai agenda dan kawasan budaya. Marwoto juga tampil di televisi (yang awet rutin sampai saat ini Kamera Ria TVRI Jakarta -- acara hiburan keluarga TNI), ekspresi pemeranan di film dan sinetron (bermain dalam lebih 10 judul), bahkan sekadar menjadi pembawa acara atau bintang tamu agenda budaya. Marwoto juga terlibat dalam banyak upaya mendirikan dan mengembangkan grup, yang di antaranya bertahan sampai saat ini Kethoprak Tjap Tjonthong dengan produksi pementasan berbayar secara rutin.

Melalui format dagelan dan humor, sendiri atau berpasangan dengan sesama pendagel lokal dan nasional, penyabet Pemain Pria Terbaik dalam Festival Pertunjukan Rakyat Nasional, 1990 ini, sejak itu pula menjelajah dunia lawak atau dagelan dari skala lokal, nasional, dan dunia melalui berbagai media. Marwoto pernah melawat ke Suriname, Hongkong, Taiwan, dan Timur Tengah untuk menghibur warga Indonesia yang ada di sana. Kematangan Marwoto dalam ekspresi budaya panggung ditempuh melalui proses panjang berliku dan penuh tantangan, diberkati dengan bakat alam yang besar, dibekali oleh darah seni yang kental, diolah dengan kecerdasan intuisi seninya, serta dikelolanya menurut irama zaman, serta tata pergaulan hidupnya. Marwoto seniman seni pertunjukan tradisi yang terbukti kuasa bertahan hingga kini karena daya kembangnya dalam menjawab tantangan perubahan berbekal modal-modal tumpukan pengalaman beragam, upaya yang sungguh-sungguh, dan bakat alam karunia Sang Maha Pencipta. Marwoto meski terus menjelajah, tetapi tidak pernah kehilangan cita rasa keyogyaannya, budaya Mataram. Citra diri wong Yogya melekat padanya.***

 

Lawas Wayang Perang
Lawas Wayang Perang
Penyerahan Piala oleh Bapak Harmoko
Penyerahan Piala oleh Bapak Harmoko
Marwoto-Yati Pesek-Daryadi di Gembira Loka Zoo
Marwoto-Yati Pesek-Daryadi di Gembira Loka Zoo
Pertunjukan Seni
Pertunjukan Seni
video Anugerah
video Anugerah

mantul

N*** | 08*****


kerennn

S*** M******** | 08**********