Peter Carey

Peter (P.B.R.) Carey (lahir di Rangoon pada 30 April 1948). Buku Diponegoro yang ditulisnya sangat fenomenal. Buku Diponegoro pengembangan dari disertasi yang dipertahankan untuk meraih gelar doktor dalam bidang sejarah di Cornell University. Edisi bahasa Inggrisnya The Power of Prophecy. Prince Diponegara and the end of old order in Java, 1785-1855, terbitan KITLV (2007). Terjemahan bahasa Indonesianya Kuasa Ramalan. Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 diterbitkan Penerbit KPG bekerjasama dengan beberapa pihak (2012). Diluncurkan pertama kali di Pendopo Tegalrejo pada 8 Maret 2012. Buku ini merupakan hasil kerja riset yang panjang, hampir 35 tahun, terhitung dari 1973, saat pertama kali Peter Carey menginjakkan kaki di Indonesia, sampai terbit buku 2007. Pandangan Peter Carey sudah menjangkau tahun 2045, saat bangsa Indonesia akan merayakan seabad kemerdekaannya. Saat peluncuran perdana di Pendapa Tegalrejo, tempat tinggal Diponegoro di Yogyakarta, Peter Carey mengungkapkan motivasi yang melatar belakangi terjemahannya dalam edisi bahasa Indonesia, "Buku ini saya persembahkan untuk seratus tahun bangsa Indonesia". Buku ini yang mem perli hatkan kajian komprehensif sejarah Diponegoro dari perspektif politikdan ekonomi. Riset arsip atas buku tersebut menghasilkan beberapa buku dan tulisan: The Archive of Yogyakarta Vol. I: Documents Relating to Politics and Internal Court Affairs, Oxford, The Oxford University Press, (1980), The Archive of Yogyakarta Vol. II: Documents Relating to Economic and Agrarian Affairs, Oxford, The Oxford University Press, (2000), Babad Dipanagara; An Account of the Outbreak of the Java War, (1825-1830), Kuala Lumpur: Art Printers, (1981), Asal usul Perang Jawa, Pemberontakan Sepoy dan Lukisan Karya Raden Saleh (1986), dan Ekologi Kebudayaan Jawa dan Kitab Kedung Kebo (1986). Sebuah artikel " A Jalan Maliabara (garland bearing street): the etimologicy and historical origins of a much misunderstood Yogyakarta street name"dalam Archipel 27 hal. 51-62. Perjalanan penelitian di Yogyakarta, diawali dengan menyaksikan pertunjukan (Pagelaran Sendratari) Diponegoro pada 1973 yang digelar di Pendopo Tegalrejo oleh Kelompok Tari pimpinan Bagong Kussudiardjo. Dalam melakukan penelitiannya, Peter Carey mondok di kompleks nDalem Tejokusuman, Yogyakarta. Ada sebuah pengakuan rendah hati dari Peter Carey yang menampilkan Diponegoro. Dia menyebutnya membuat potret Pangeran Diponegoro sebagai "sebuah sketsa leretan atau arsiran pointiliste. Aliran pasca-impresionis [dalam seni rupa], [dengan membuat] sejumlah titik-titik noktah yang disatukan memberi bayang-bayang kedalaman, gerak dan rona" (I, hal 147). Setelah ungkapan tersebut, masih diberi catatan"... pada akhirnya yah cuma itu, suatu kesan jika bukan suatu tipuan mata (trompe-roeir)': Peter Carey mengetengahkan sosok Diponegoro secara komprehensif, mendalam dan menyeluruh. Sebagai pribadi, diperlihatkan Pangeran Diponegoro sebagai bangsawan yang tumbuh dan bergaul dengan bermacam lapisan masyarakat, petani, kyai, dan kalangan bangsawan sendiri. Pendidikan yang dijalani di luar istana, membuat pendidikan menjadi lebih intensif. 

Intelektualitasnya antara lain diperlihatkan dengan berbagai koleksi buku yang dimilikinya. Dari teologi, moral, fiqih; sejarah tokoh yang kemudian menjadi idola, juga sastra Jawa dan wayang. Peter Carey sebagai sejarawan bekerja bagaikan seorang detektif yang sangat profesional. Semua hal ditelusuri sangat teliti sampai mendetil. Setiap tokoh yang disebut diberi latar belakangnya dan konteksnya sehingga jelas posisi dan perannya. Saling dipertemukan dalam keragaman peristiwa dan masalahnya. Semuanya ditempatkan di seputar tokoh Pangeran Diponegoro yang menjadi sorotan utamanya. Dalam seluruh pembahasannya tersebut, Peter Carey menyajikannya dalam ulasan yang luas sekaligus mendalam. Ada gabungan pembahasan sejarah secara diakronis dan sinkronis. Diakronis dalam perjalanan waktu yang maju. Sinkronis menempatkan berbagai unsur yang membentuk sejarah tersebut berlangsung. Dalam naskah Katalog Induk Museum Sonobudoyo terkait Babad Ngayogyakarta disebut sudah ditransliterasi untuk proyek Peter Carey. TheArchive of Yogyakarta Vol I member' keragaman detil atas sejumlah hal dari masa Sultan Hamengkubuwono I dan II. (Mis. Peraturan Sultan HB II tentang penghormatan terhadap kerabat kraton dan penggunanan ageman dan macam-macam asesoris yang lain (104-108). Berbagai daftar, antara lain uang membeli bunga untuk berbagai makam, daftar nama utusan yang naik haji ke Mekah, mengirim uang korban (171-174). Buku Diponegoro (ini) menambahkan banyak hal. Termasuk data-data pembangunan kota dan pengembangan wilayah setelah palihan negari. (Dari 1756 sampai awal perang Jawa 1825). Sementara penelitian tentang nama Yogyakarta, Peter Carey memperlihatkan ada yang mengaitkannya dengan nama Jendral Malborough (Inggris) yang terkait dengan Benteng Malborough di Bengkulu, dan juga dengan maliabara, satu istilah Jawa Kuno yang berarti "mengalungkan rangkaian bunga"untuk para tamu kehormatan yang datang. Peter Carey mengemukakan satu kutipan Willem van Hogendorp (seorang kontrolir yang datang pasca Perang Diponegoro), mengetengahkan Yogyakarta yang dijuluki dengan Versailles Jawa. (I, hal. 1). Hal semacam ini meninggalkan sebuah tantangan untuk menindaklanjuti ungkapan tersebut. Ungkapan yang dikutip, dibuat setelah perang Diponegoro, artinya Yogyakarta telah banyak menjadi puing-puing. Kendati pun demikian, toh reruntuhannya membawa imajinasi tentang Versailles. Planologi macam apa yang ada atasYogyakarta pada masa itu? Diperoleh kesan kuat, dalam proses terpenuhinya ramalan, profil yang menghadirkan Diponegoro, dengan khusus dirumuskan dalam dua istilah penting: "satrio lelono"(I, 102), dan"sintesa mistik"(I, 135). lnilah kekhasan pokok dari Diponegoro. 'satrio lelono' dapat menjadi satu cara melihat kepemimpinan di dalam kalangan istana/politik sebagai alternatif dari yang lebih banyak mengemuka dengan gambaran pemimpin sebagai "satrio Pengertian lainnya terkait dengan "sintesa mistik", menghayati dalam dirinya hidup kerohanian dari mistikJawa, Islam. (I, 135) Keduanya dapat menjadi cermin bagi sejarah masa kini. Terlebih bagi para pemimpin, dan orang-orang yang mau terlibat di dalam kepemimpinan apa pun. Tidak akan terbebas dari wawasan politik, ekonomi, pluralisme dan multikultural sebagaimana telah menjadi pengalaman P. Diponegoro. Demikianlah, Peter Carey telah menunjukkan hasil karyanya dengan Buku Diponegoro yang dipersembahkan untuk bangsa Indonesia memasuki usia 100 tahun kemerdekaan. Usaha tersebut dapat disandingkan dengan mengutip sebuah ungkapan seorang tokoh nasional yang lain, "Apa arti kemerdekaan, bila gagal mendidikdirisendiri". Selain karya-karyanya tersebut, Peter Carey juga menjadi penasehat dalam pembuatan beberapa film yang terkait dengan Diponegoro. Antara lain: Pahlawan Goa Selarong (70an), November 1828 (80an) dan Khalifah Terakhir (2020) yang menimbulkan polemik karena penyesatan-penyesatan yang ditunjukkan Peter Carey. Saat ini, Peter Carey menjadi Dosen di Universitas Indonesia. Pernah terlibat dalam penggalangan dana untuk yayasan difabel korban perang dan pasca perang di Kamboja. *** 

 

Keluarga Peter Carey
Keluarga Peter Carey
Peter Carey
Peter Carey