Noto Sukamto atau Mbah Noto lahir di Gunungkidul, 31 Desember 1932, saat ini tinggal bersama istrinya Sukinah di Padukuhan Petir B, RT 02-RW 02 Kalurahan Petir Kapanewon Rongkop Kabupaten Gunungkidul. Mbah Noto merupakan pewaris ke 13 sebagai Juru Kunci Petilasan Mbah Jobeh. Pada saat berusia 50 tahun, mendapatkan tugas dari orang tuanya Somejo untuk melanjutkan sebagai Juru Kunci Petilasan Mbah Jobeh, dengan maksud agar upacara adat Sadranan yang merupakan warisan leluhurnya tetap bisa lestari. Upacara adat Nyadran atau Sadranan yang sudah dilakukan ratusan tahun, diyakini oleh sebagian masyarakat, bahwa apabila warisan leluhur itu tidak dilakukan akan terjadi bencana kekeringan . Meskipun sebenarnya upacara adat itu merupakan salah satu bentuk ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah yang telah diberikan kepada masyarakat .
Konon pada awalnya ada dua tokoh setempat bernama Ki Kenthung dan Nyi Kenthung yang selalu gelisah melihat semua tanaman yang ada kering dan hampir mati yang berarti bakal gagal panen dan bisa menjadi pageblug, maka keduanya melakukan semedi/bertapa berdoa memohon kepada Tuhan agar tanaman yang mengering bisa diselamatkan. Selesai berdoa ada keajaiban terjadi, semua tanaman yang kering dan hampir mati mendadak menjadi hijau kembali meskipun tidak ada hujan dan petani bisa panen yang hasilnya melimpah tidak seperti musim sebelumnya. Saat itu Ki Kenthung merasa bersyukur karena doanya dikabulkan, tanaman mejadi hijau semua atau IJO KABEH. Maka sejak itu sebuah Gubug kecil yang digunakan sebagai tempat bersemedi disebut dengan petilahan Mbah Jobeh, Bahkan Juru Kuncipun tidak ada yang berani menggantikan kecuali dari keturunan Ki Kenthung dan masyarakatnya selalu taat melakukan upacara adat, agar bencana tidak terulang lagi.
Sebagai bentuk ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. maka setiap Kamis Kliwon yaitu pada saat Ki Kenthung berdoa dan dikabulkan sebagai pepeling, kemudian dijadikan patokan pelaksanaan upacara adat sadranan dengan kenduri wilujengan dengan sesaji atau ubarampe khusus, antara lain Bongko Gudhe sejodo (setangkep), kepala dan teklik (kaki) kambing, kepala dan cakar ayam dan lainnya, bisa dilestarikan hingga saat ini, bahkan mendapat dukungan dari seluruh warga masyarakat dan pemerintah Kalurahan Petir. Setelah upacara adat sadranan Mbah Jobeh selesai dan petani sudah panen padi, maka pada hari Kamis Pahing dilanjutkan dengan upacara adat bersih desa atau rasulan.
Sebagai Juru Kunci sejak Ki Kenthung, secara run temurun diwariskan kepada penerusnya yaitu Ki Kendhil, Ki Besar, Ki Malanggati, Ki Tinolo, Ki Irononggo I, Ki Gotho, Ki Troniti, Ki Irononggo II, Ki Ironoyo, Ki Irontiko, Ki Somejo dan ke 13 Mbah Noto Sukamto. Semua Juru Kunci adalah dari keturunan Ki Kenthung. Dengan upacara adat Sadranan yang masih lestari, saat ini berkembang menjadi obyek wisata religi yang banyak dikunjungi tamu dari luar Kalurahan Petir.