Sosok sederhana yang tinggal di Pedukuhan Blubuk, Kalurahan Sendangsari, Kapanewon Pangasih, Kabupaten KuIon Progo ini akrab dipanggil dengan nama 'Mbah Niti'. Dalam kesehariannya, Niti Diharjo bekerja seperti umumnya warga di Pedukuhan Blubuk yang menghabiskan waktunya mengerjakan lahan sawah dan kebun yang su bur. Selain bekerja sebagai petani, Niti Diharjo memiliki aktivitas lain yang digelutinya dengan penuh ketekunan dan tidak dikerjakan oleh umumnya anggota masyarakat lainnya di wilayah Blubuk. Aktivitas tersebut adalah usahanya dalam merawat petilasan makam Cakrajaya atau SunanGesengdan memangku beriangsungnya tradisi kutukan yang terkenal, terutama di wilayah Kulon Progo (Yudha, 2020).
Daiam memahami kehidupan yang semakin dinamis ini, Niti Diharjo mengaku tetap optimis jika dan tradisi Jawa' dapat menyesuaikan dengan berbagai kemajuan yang terjadi. Niti Diharjo percaya jika nilai dan tradisi kehidupan sebagai 'orang Jawa' yang pengetahuannya didapatkan dari ayah dan kakeknya mampu bertahan, tetap lestari, dan adaptif (limes) dengan kemajuan jaman. Dengan gagasannya tersebut, maka sosok Niti Diharjo kemudian banyak didekati oleh para generasi muda di wilayahnya. Para generasi penerus tersebut berkeinginan untuk dapat meneruskan perjuangan Niti Diharjo dalam memajukan nilai dan tradisi kebudayaan Jawa di wilayahnya.
Profesi khusus Niti Diharjo sebagai juru kunci petilasan Sunan Geseng dan pemimpin tradisi kutukan didapatkan dari ayahnya yaitu Muh Amat Semangun. Ayahnya disebutkan mendapatkan warisan sebagai juru kunci dan pemangku tradisi kutukan dari kakek Niti Diharjo yang bernama Nowawi (wafat 1948). Sementara itu, Nowawi juga meneruskan dari ayahnya yang bernama Simbarwarya —kakek buyut Niti Diharjo (Athoillah, 2020). Secara turun temurun, berdasarkan ingatan keluarga bahwa Niti Diharjo adalah generasi ke empat dalam keluarga besarnya yang merawat kelestarian petilasan Sunan Geseng dan menjaga rutinnya penyelenggaraan tradisi kutukan setiap tahunnya.
Dalam kepercayaan masyarakat Blubuk secara turun temurun diketahui bahwa wilayah di sekitar pedukuhan mereka pernah digunakan untuk pertemuan antara Cakrajaya yang dalam kesehariannya bekerja sebagai penyadap nira kelapa dengan guru besarnya yaitu Sunan Kalijaga. Masyarakat mempercayai cerita tutur jika Sunan Geseng pernah melaksanakan perintah gurunya untuk bertapa di wilayah yang mereka tempati —kemudian disebut sebagai Pedukuhan Blubuk. Guiana kisahnya, Sunan Kalijaga kemudian menghampiri Cakrajaya yang sedang bertapa dan karena sudah sekian lama waktunya, maka lokasi yang digunakan untuk bertapa telah menjadi hutan. Untuk menemukan Cakrajaya, maka Sunan Kalijaga Terpaksa membakar hutan tersebut agar tubuh Cakrajaya yang sedang bertapa terlihat. Oleh karena pembakaran tersebut, tubuh Cakrajaya terlihat agak kehitam-hitaman seperti hangus karena panasnya bara api, kepulan asap, dan semburan nyala api. Oleh karena itu, maka Cakrajaya kemudian digelari sebagai Sunan Geseng atau seorang sunan dengan tubuh berwarna agak gelap —bertubuh hangus. Sementara, sisa Iahan yang dibakar membuat banyak abu yang bertebaran, atau dalam istilah Jawanya disebut dengan mblubuk. Dengan berdasar kisah tersebut, maka wilayah tersebut kemudian dikenal sebagai Pedukuhan Blubuk.
Keberadaan petilasan Sunan Geseng dengan segenap kisah ketokohannya tersebut bagi masyarakat Pedukuhan Blubuk dipahami sebagai hadirnya simbolitas keharmonisan antara —nilai, simbol, dan praktik kehidupan— antara Islam dan Jawa. Mereka melestarikan 'pengetahuan lokal' atas keberadaan situs dan simbolitas ketokohan Cakrajaya melalui sebuah ritual tradisi yang disebut kutukan —karena sajian hidangan utamanya adalah menggunakan lauk pelas ikan gabus (iwak kutuk)yang dipercaya sebagai makanan kegemaran Cakrajaya.
Ketokohan Cakrajaya atau Sunan Geseng dengan gurunya, yaitu Sunan Kalijaga dalam pandangan Mbah Niti dan umumnya masyarakat di Pedukuhan Blubuk dipahami sebagai sesuatu yang bermakna sakral. Mereka secara bergotong royong sepa kat untuk tetap merawat kepercayaannya dengan cara melestarikan ritual penuturan 'kisah suci' bergurunya Cakrajaya kepada wall besar Tanah Jawa. Kisah penuturan tersebut biasa dilakukan oleh leluhur Niti Diharjo secara turun temurun pada setiap hari Jumat Wage setelah panen padi musim hujan (panenan mangsa rendeng). Penuturan kisah tersebut, dilakukan setelah masyarakat Blubuk dan para peziarah dari berbagai wilayah balk dari sekitar Kulon Progo maupun luar wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta melakukan ziarah di petilasan Sunan Geseng. Mereka yang hadir mendengarkan kisah Cakrajaya tersebut disuguhi hidangan nasi dengan lauk pelas ikan kutuk.
Bagi Niti Diharjo, dengan tetap melestarikan petilasan Sunan Geseng dan tradisi kutukan, maka dirinya dan masyarakat di Pedukuhan Blubuk juga menjadi bagian dari masyarakat Jawa Yang tetap merawat konsepsi keharmonisan Islam-Jawa. Usaha pelestarian balk petilasan Sunan Geseng maupun tradisi kutukan dipahamI oleh Niti Diharjo dan masyarakat Blubuk sebagai andil mereka dalam menjaga kelestarian dan keutuhan kebudayaan Jawa yang dinamis. Dengan itu, maka leluhur masyarakat di Pedukuhan Blubuk sebenarnya telah mewariskan nilai-nilai budaya yang adiluhung dan bentuk cara merawatnya melalui peninggalan keberadaan petilasan Sunan Geseng dan tradisi kutukan. Keduanya dapat disebutkan sebagai pasangan 'kekuatan nilai budaya' yang sangat kohesif (berlekatan) (Raharjo, 2021) untuk wilayah Blubuk dan sekitarnya. Niti Diharjo lahir pada 20 Agustus 1942. Sudah lebih dari 30 tahun dari usianya untuk meneruskan usaha melestarikan petilasan Sunan Geseng dan memimpin tradisi kutukan. Atas usahanya tersebut, Niti Diharjo kemudian menerima anugerah atau penghargaan dari Bupati Kulon Progo sebagai tokoh pelaku seni/adat tradisi kutukan pada tahun 2020.***