Pelukis atau seniman pada umumnya, muncul karena dorongan impian, minat penuh gairah, berani menghadapi tantangan dan resiko tidak sederhana, demi memperjuangkan martabat. Keberhasilan merupakan buah yang selayaknya dipanen. Pengantar pendek itu cukup mewakili perjalanan panjang perupa Nasirun (dilahirkan pada 1 Oktober 1965, di Cilacap, Jawa Tengah) hingga pada pencapaiannya kini. la menyelesaikan pendidikan seni rupa di SMSR Yogyakarta jurusan Seni Kriya, kemudian melanjutkan ke Jurusan Seni Lukis FSR ISI Yogyakarta. Karya-karya Nasirun mengingatkan kita pada warna-warna yang terolah pada lukisan Widayat (yang notabene adalah dosennya), sosok-sosok terpiuh pada lukisan Hendra Gunawan, atau bentuk, sapuan, dan warna-warna pada lukisan S. Sudjojono. Ide, bentuk, dan warna karya-karya Nasirun memang bertolak dari pemahaman dan penghayatannya pada berbagai kepercayaan, legenda, mitologi, dan unsur-unsur seni tradisional, yang dipadukan dengan ide-ide yang berasal dari realitas keseharian, termasuk 'pengaruh' tak langsung dari para gurunya itu. Kesemuanya oleh Nasirun diramu menjadi ekspresi pribadinya yang otentik: lukisan-lukisan yang dipenuhi ornamentasi, warna-warna yang terolah, bentuk-bentuk deformasi yang lentur, dan menghadirkan suasana misterius. Tak hanya menggunakan kanvas sebagai material utama, Nasirun menjelajahi berbagai medium untuk lukisan. la merespon benda-benda apapun; surat undangan, bungkus kemasan, kayu, meja, kursi, kaleng kerupuk, dan pada suatu kesempatan oleh promotornya, Nasirun diminta melukisi tas bermerek mahal dan sejumlah mobil mewah. la juga menyajikan lukisan seperti wayang kulit, bidang-bidang yang diberi tangkai (cepurit; gagang wayang dari tulang) yang dipajang dengan cara ditancapkan. Prinsip utama kerja Nasirun adalah "melukis", meski pada benda dua dimensional sekalipun. Dalam proses kreatif semacam itu, karya-karya Nasirun dapat dibaca dari perspektif seni kontemporer. la menerobos kelaziman pengertian lukisan, namun dalam kerangka kerja melukis. Baginya, berbagai predikat itu tidak penting, atau bahkan tidak ia pedulikan. Bahkan secara bergurau, ketika banyak orang mempercakapkan kekontemporaran karya seninya, Nasirun mengaku dengan ringan dan seperti bercanda, bahwa "saya ini mualaf kontemporer". Pengakuan ini menunjukkan bahwa baginya, tak terlalu risau dengan berbagai sebutan itu, karena yang lebih penting adalah menjaga semangat untuk terus berkarya sebaik-baiknya. Perjalanan keseniannya berliku dan tak mudah. Hari-hari sulit pada awal ia meniti karier sebagai pelukis, tak membuatnya surut dan mencoba berbelok arah. Dengan segenap keyakinan, ia terus menekuni pilihannya dengan sepenuh passion. Sampailah Nasirun pada pameran tunggal pertama di gedung Mirota Kampus, JI. Godean, Yogyakarta pada 1993, yang dipromotori oleh pengusaha Siswanto Hs, Direktur Utama Mirota Group. Rupanya pameran itu merupakan tonggak penting bagi karier kepelukisan Nasirun, karena pameran-pameran berikutnya terus terjadi, balk tunggal maupun undangan dari berbagai institusi penyelenggara pameran. Pada 1999, pameran tunggal di Galeri Nasional Indonesia bertajuk"Ojo Ngono", kemudian di Nadi Gallery, di Galeri Salihara, dan pameran "Salam Bekti" pada 2009 yang ditujukan untuk memperingati 1000 hari meninggal ibundanya; pameran 1000 lukisan di Galeri Salihara, Jakarta; pameran tunggal di Mizuma Gallery, Jepang (2015), dan berbagai event di Asia, Eropa, dan Amerika. Pameran bersama pada berbagai pameran penting tak terhitung banyaknya, antara lain Pameran Summit Event Bali Biennale (2005), Biennale Jogja IX: Neo-Nation (2007), Un[Real] di Galeri Nasional Indonesia (2009), Commonsense di Galeri Nasional Indonesia (2010), dan puluhan pameran lainnya baik di dalam maupiun luar negeri."Saya tak pernah menolakjika diundang untuk ikut pameran di manapun" katanya dengan ringan sambil terkekeh panjang, sepertitawa khasnya. Sejumlah penghargaan Mc Donald Award, dan Phillip Moris Indonesia Art Awards (1997). Nasirun juga dipilih oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untukdilibatkan dalam program Belajar Bersama Maestro, sebuah program sejenis workshop bersama sejumlah siswa yang terseleksi, untuk berkarya sambil belajar berbagai hal terkait proses kreatif berkesenian dengan Nasirun. Nasirun juga menyediakan satu rumah untuk menyimpan koleksi-koleksinya, sebutlah semacam museum seni rupa, terletak di depan kediamannya di wilayah Bayeman, Jalan Wates, Yogyakarta. Karya-karya para perupa yang ia dapatkan bukan karena mencari, tetapi karya-karya itu sampai kepadanya agar "dikoleksi". Ada yang diantar oleh perantara, tetapi tak jarang pelukisnya sendiri datang untuk kepentingan "agar dikoleksi" itu. Melihat koleksi yang terkumpul, dapat dilihat karya-karya penting yang tidak dimiliki oleh kolektor lain, termasuk museum pemerintah seperti Galeri Nasional Indonesia. Misalnya sejumlah lukisan karya Emiria Soenasa, karya-karya A.J. Katamsi (Direktur pertama ASRI Yogyakarta), karya Danarto termasuk karya-karya lama para maestro seni rupa In donesia. Seperti makna namanya Nasirun -dituturkan, nama itu diambil dari kata An-Nasr, salah satu surat dalam Al-Quran, yang artinya "pertolongan" - maka ia mengatakan, "takdir saya harus siap menolong", kali ini disampaikan dengan ekspresi serius. Nasirun meyakini, dengan mengoleksi karya-karay itu, sesungguhnya makna dasarnya adalah berbagi pada orang (seniman) lain. ***