Kanjeng Mas Tumenggung (KMT) Projosuwasono. la memulai karier budayanya dari jajaran Prajurit Karaton Yogyakarta, 1971. Masuk jadi prajurit pada usia 21 tahun, 6 tahun sebelum menjadi pegawai negeri sipil Kabupaten Bantul yang purna pada tahun 2006. Sebagai prajurit kraton kemudian menjadi Abdi Dalem (sejak 1996) Kawedanan Hageng Punakawan Kridha Mardawa, tetap menjadikan Projosuwasono terus mengabdi, tidak pensiun. Khususnya dalam budaya tembang, tembang macapat dari praktik, mengajarkan, sampai dengan aktif dalam gerakan budayanya berbuat turun hingga pelosok desa dan terlibat berbagai agenda budaya lainnya. Tidak hanya mengajar di Pamulangan Sekar KHP Kridha Mardawa, tetapi mengajar dan membimbing untuk semua kalangan di berbagai tempat dan kesempatan.
Jika kondisi terkini kehidupan praktik macapat, suatu jenis metrum tembang Jawa yang populer untuk mengkomunikasikan perasaan, pikiran, gagasan, riwayat, dan ajaran, ditengok dalam masyarakat, terang sekali realitasnya: masih hidup dan berkembang. Boleh dibilang, tumbuh dan menjamurnya perkumpulan macapat di desa-desa seakan menjadi suatu gerakan budaya. Bukan hanya ingin mengembalikan romantisme tembang dalam keseharian hidup, tetapi sangat mungkin berangkat dari kesadaran bahwa macapat adalah salah satu kekayaan budaya tutur yang dikembangkan dari khazanah budaya tulis kapustakan kapujanggan Jawa. Suatu budaya tutur yang bersalut irama dan nada, diekspresikan melalui lagu yang khas dalam metrum lagon dan tetembangan. Bahwa bernyanyi, adalah bagian penting dari penanda kesukaan manusia yang terus diekspresikan para warga pendukungnya, realitas sosial tak terbantahkan. Orang Jawa, di antara sifat dan sikapnya: suka nembang dalam berbagai pola, seperti ura-ura, rengeng-rengeng atau bahkan terlantun keras dalam kuasa metrum pratonik tembang ageng, tembang alit, dan tembangtengahan yang di dalamnya ada metrum macapat.
Pada masa lalu, menjalankan kewajiban hidup sehari-hari, bekerja di ladang, di pekarangan, atau di emperan rumah, manusia Jawa banyak yang melakukannya dengan ditimpali lantungan tetembangan meskipun mungkin sebatas rengeng-rengeng. Dari ladang para buruh derep, pembajak sawah, atau pemanen lainnya banyak yang bekerja sambil ura-ura, menembang sebisanya. Tentu saja tidak seluruhnya dalam bentuk tembang macapat, meskipun jenis tembang ini yang sangat populer. Bahkan sejumlah lirik dalam serat karya pujangga terdahulu, banyak dihafal di kalangan rakyat karena jasa metrum macapat dan kebiasaan menembang itu.Jika pada waktu akhir-akhir ini banyak bertumbuhan perkumpulan macapat hingga pelosok desa yang rutin menggelar latihan dan semuan (pertunjukan sederhana) tidak pernah bisa lepas dari jasa perjuangan dan pengorbanan KMT Projosuwasono yang ringan hati dan enthengan turun ke akar rumput. Seorang pelaku pelestari macapat sekaligus penggerak budaya tradisi menembang dalam masyarakat. KMT Projosuwasono tergolong pelaku budaya yang total memperlakukan macapat dalam ekosistem budaya masyarakat. Mengajak kembali budaya macapat sebagai tradisi yang melekat dalam kehidupan.
Ada banyak maestro macapat. Tetapi yang melakukan tindakan: (1) ajeg membawakan tembang atau menembang sebagai tradisi hidup, (2) mengarang menciptakan link tembang untuk diekspresikan dalam berbagai keperluan, (3) menyusun panduan notasi, rekaman audio, dan rekaman video tembang, (4) mengajarkan dan melatihkan tembang, (5) membimbing perkumpulan atau paguyuban macapat dari berbagai kalangan dan lokasi, (6) terlibat dalam desain dan pelaksanaan peristiwa/agenda budaya tembang di berbagai lokasi dan forum, (7) membaca dan menafsir sumber-sumber pustaka dan naskah kuno,serta sumber-sumber lisan dalam masyarakat untuk keperluan tembang macapat, (8) menjadi juri atau penilai kompetisi macapat, serta (9) bertindak sebagai narasumber dalam kajian-kajian dan seminasi macapat hanya sedikit orang. Salah seorang dari yang sedikit itu adalah KMT Projosuwasono.
Apa yang dilakukan KMT Projosuwasono lebih dari yang menjadi tugas pokok dan fungsinya sebagai abdi dalem KHP Kridha Mardawa Kraton Yogyakarta, di antaranya dengan menjadi guru (pamucal) di Pamulangan Sekar, di Jalan Rotowijayan 3 Yogyakarta sejak 1991 hingga sekarang. KMT Projosuwasono turun sampai ke desa-desa bertemu dengan banyak orang dari kalangan rakyat, pelaku budaya, pejabat dan pandemen seni macapat. la turun dalam pergaulan sosial untuk keperluan memperjuangkan keberadaan macapat sebagai warisan budaya yang layak menjadi tradisi kebiasaan masyarakat. KMT Projosuwasono, pribadi yang seperti tidak kenal lelah berbagi ilmu dan praktik macapat dengan siapa saja, dalam beragam usia dan latar belakang sosial budaya dan pendidikan. Bahkan, ia juga mengudara melalui pemanduan macapat melalui siaran radio di RRI Yogyakarta rutin seminggu sekali sejak 2004 dan di sebuah radio swasta sejak 2005.
KMT Projosuwasono masih belum lelah, karena ia juga memandu dan aktif dalam Paguyuban Macapat Kabupaten Sleman (sejak 2002), Kota Yogyakarta (2004), dan Kabupaten Bantul (2005). Bahkan, ia aktivis macapat di Pendapa Agung Ambarukmo dari 1991.Aktivis macapatan di Dalem Yudaningratan sejak 1995. Semuanya sampai sekarang. Tidak ketinggalan ia juga membina aktivitas macapat di desa tempat tinggalnya, Kalurahan Panggungharjo. Selain itu, KMT Projosuwasono memberikan pelatihan hingga kedesa-desa sesuai undangan dan permintaan. Ada sejumlah agenda macapat besar, bahkan macapat massal di Sleman, Bantul!, DIY dan Jakarta, KMT Projosuwasono ikut berperan. Bahkan tidak keberatan ketika diminta terlibat dalam transformasi macapat menjadi seni pertunjukan.
Selain memandu dan mengajak bermacapat dalam praktik menembang, KMT Projosuwasonojuga menulis lirik atau pupuh-pupuh macapat untuk disebarkan dan dapat digunakan oleh siapa saja.Bahkan ada lembaga yang menyusunkan buku notasi dan pedoman dilampiri cd rekaman audio dan video macapat yang disediakan untuk publik dan pemula. Disamping sering mensosialisasi kitab-kitab karangan para pujangga di masa lalu dalam peristiwa pelantunnya, KMT Projosuwasono Juga menulis macapat dengan topik yang beragam. Dari lirik tembang berupa kisah hari jadi suatu daerah, lirik terkait dengan upacara daur hidup, upacara adat dan tradisi, lirik tembang berdasar tafsir dari kitab suci, doa-doa dalam lirik tembang macapat, ataupun macapat yang menggambarkan peristiwa besar seperti musibah gempa 2006, musibah lahar dan awan panas Merapi, doa-doa untuk mBah Marijan, acara-acara adat besar lainnya.
KMT Projosuwasono lahir di Bantul 4 Juni 1950. Pendidikan terakhirnya, Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP).Ayah dari 3 anak ini tinggal di Krapyak Kulon RT 12 Kalurahan Panggungharjo Kapanewon Sewon Kabupaten Bantul. Waktu hidupnya dihabiskan untuk pengabdian sebagai abdi dalem dan pemomong seni macapat. Seni tembang Jawa yang menggairahkan aktvitas budaya hingga ke akar rumput.***