Lelaki yang biasa di panggil pak Har oleh masyarakat ini lahir di Bantul pada 23 Desember 1966. Selepas lulus SD Negeri I Pandak (1980), SMPN I Bantul (1983) serta SMAN I Bantul, Hariyadi melanjutkan kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, lulus tahun 1994. Sejak tahun 1998 Drs Hariyadi bekerja sebagai Pamong Desa Wijirejo, Kapanewon Pandak, Kabupaten Bantul. la menjabat sebagai Kepala Urusan Agama dan Kesra yang sekarang menjadi Kepala Seksi Sosial (Kamituwa). Dua tahun kemudian is mulai dipercaya menjadi Ketua Pasareyan Makam Sewu. Hingga saat ini, Sarjana Filsafat yang telah memiliki dua anak (Surya Hasan Aulawi dan Niscala Zaidan Naja) ini dipercaya masyarakat sebagai penanggung jawab (Ketua Panitia) upacara Nyadran Agung Makam Sewu. Tak hanya itu Hariyadi juga telah menyusun "sejarah" singkat Panembahan Bodho, seorang tokoh yang cukup berperan dalam dakwah agama di wilayah Bantul dan sekitarnya. Berbagai sumber menyebut Panembahan Bodho adalah sosok yang dianggap berjasa besar menyebarkan agama Islam ketika Mataram diperintah oleh Kanjeng Panembahan Senopati Ingalogo yang pemerintahannya berpusat di Kotagede. Karena dianggap tokoh penting oleh masyarakat, setiap tahunnya masyarakat menggelar Upacara Nyadran Agung untuk memperingati dan menghormati jasa Panembahan Bodho. Hingga saat ini, Hariyadi, putera pasangan suami isteri Dorori Conkrodikromo dan Karsini Addurohman ini bertempat tinggal di desa Kauman RT 01 Wijirejo, Kapanewon Pandak Kabupaten Bantul bersama isterinya Maorina Purwaningsih, S.Kep. Jabatannya sebagai Kepala Seksi Sosial membuatnya sering melakukan kerja sosial bersama masyarakat sekaligus merawat adat istiadat warisan para leluhur yang sarat nilai nilai kearifan lokal sebagai identitas Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Atas dedikasi dan kesetiannya, tahun 2019 lalu ia mendapat penghargaan dari Pemerintah Kabupaten Bantul sebagai tokoh Pelestari Adat dan Tradisi.
"Dalam istilah umum Nyadran berasal dari kata Shaddran yang artinya dada, yang kemudian menjadi Shaddranan," ujarnya sambil menyelaskan bahwa Nyadran merupakan bentuk menata hati menghadapi Bulan Ramadhan. Bagi Umat Islam, Ramadhan merupakan bulan mulia dan harus disiapkan dengan benar dengan cara menghormati leluhur dan menjaga hubungan batin dengan mereka yang sudah meninggal. "Makna dari Nyadran adalah litathiril qalbi atau penyucian kalbu dalam menghadapi bulan suci Ramadhan dengan mengingat dan mencari bekal sebanyak-banyaknya dengan a mal sholeh serta mengenang para leluhur pendahulunya untuk menunjukkan baktinya," tuturnya, Namun kapan dimulainya Nyadran, tidak ada yang tahu. Kendati demikian karena sudah menjadi keyakinan bahwa Nyadran adalah kegiatan ritual keagamaan yang diwariskan turun temurun oleh para Wali diTanah Jawa. Nyadran Agung Makam Sewu selalu dilakukan di mushola merupakan serangkaian kegiatan yang dikemas oleh panitia lewat beragam cara dan dilakukan selama Seminggu. Tujuh hari sebelum upacara dilakukan kerjabakti pembersihan makam oleh masyarakat dan dilanjutkan dengan doa. Upacara Nyadran Agung ditutup dengan kendhuri dan tabur bunga ("nyekar") di makam Panembahan Bodho. Sebagaimana kesepakatan para tetua desa, pelaksanaan Nyadran Agung Makam Sewu ditentukan pada setiap hari Senin pertama atau sepuluh hari terkhir sebelum bulan Sya'ban/ Ruwah Tahun Hijriah dengan mengenakan pakaian khusus. Masyarakat yang terlibat dalam acara itu kebanyakan adalah mereka yang mempunyai leluhur dan dimakamkan di tempat itu. Sebagian besar dari mereka adalah penduduk desa Wijirejo, Kapanewon Pandak, Bantul.*