Bangunan Rumah Tradisional Tempat Singgah Jenderal Soedirman

Rumah tradisional di desa Playen, Kapanewon Playen, Kabupaten Gunung Kidul pertama kali didirikan oleh Sastro Pratomo, carik Kelurahan Playen (d/h Kelurahan Ngawu), di padhukuhan Jatisari (d/h padhukuhan Cantung). Tidak ada keterangan yang pasti kapan rumah tradisional tersebut dibangun, namun diperkirakan sebelum kemerdekaan rumah tradisional sudah sudah berdiri. Sastro Pratomo disamping menjabat sebagai Carik Desa, juga terkenal kedekatannya dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, bahkan beberapa sesepuh desa Playen menjelaskan bahwa Sastro Pratomo adalah penasehat spiritual Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Karena faktor kedekatan dengan Sri Sultan HB IX ini, Sastro Pratomo terkenal dengan sebutan nama Mbah Ageng Mataram. Sri Sultan Hamengku Buwono IX sering datang berkunjung di rumah Sastro Pratomo ini, bahkan B.R.M. Herjuno Darpito yang bergelar K.G.P.H Mangkubumi (sebelum dinobatkan sebagai Sultan Hamengku Buwono X) juga sering berkunjung ke rumah Sastro Pratomo tersebut bersama ayahandanya Sri Sultan Hamengku Buwono IX. 

Rumah Sastro Pratomo saat ini dihuni dan dimiliki oleh Sri Subening (putri sulung dari istri ke tiga Sastro Pratomo) bersama suaminya Andang Suhartanto. Rumah Sastro Pratomo ini juga mempunyai nilai penting yang tinggi, karena pada zaman perang kemerdekaan (clash II : Desember 1948 - Juli 1949), Jenderal Soedirman pada saat memimpin perang gerilya pernah singgah di rumah Sastro Pratomo ini pada tanggal 21 Desember 1948, meski hanya 2 - 3 jam. Sampai saat ini ruangan dan perabotan yang pernah digunakan oleh Jenderal Soedirman masih terpelihara dengan balk. 

 

Rumah tinggal tempat singgah Jenderal Soedirman Bangunan rumah tradisional tempat singgah Jenderal Soedirman di Playen ini bergaya arsitektur Jawa dengan urutan bangunan dan tata letak yang relatif masih memenuhi kaidah arsitektur Jawa, dimulai dari bangunan topengan (nama setempat lintring) yang paling depan, diiringi bangunan di belakangnya berupa pendhapa, pringgitan, dalem ageng, pawon, dan gandhok Vengen. Terdapat bangunan baru di samping kiri pendhapa dan dalem ageng berupa musholla dan bangunan pelengkap di sisi selatannya. 

Lintring / topengan merupakan bangunan terdepan berbentuk limasan klabang nyander. Bangunan lintring ini semi terbuka tanpa dinding tinggi mengingat sifatnya yang profan. Pada sisi kiri-kanan berdinding rendah, sedang bagian depan (antara empat saka) diberi hek (balustrade), dan antar dua saka di ujung kiri - kanan dibiarkan terbuka untuk jalan masuk. Kerangka atap berbahan kayu terdiri dari blandar pamanjang, blandar panyelak (blandar pengeret), ander, molo, dan jurai / dudur. Bahan penutup atap genteng pres, bubungan kerpus tanah liat dengan ornamen gunungan berbahan tanah liat ditengah-tengah molo, serta bongkak pada ujung molo dan ujung jurai. Di bawah blandar lintring sisi depan terdapat srawing (sunscreen) berbahan papan kayu berornamen yang dipasang masing-masing diantara dua tiang. Pada ujung rangkaian usuk lintring sisi depan dan samping dipasang rete-rete berornamen sebagai lisplang. Lantai berbahan keramik. Perubahan bahan lantai ini terjadi pada saat renovasi pada tahun 2017, tanpa merubah bentuk dan fungsi lintring secara keseluruhan. 

Bangunan pendhapa di belakang (sisi selatan) lintring berbentuk limasan lawakan. Rangkaian blandar pamanjang dan blandar panyelak (blandar pengeret) ditopang oleh 8 (delapan) saka. Umpak Saka yang asli ditutup dengan umpak batu putih diberi ornamen ukiran bercat brom kuning. Dua ander penyangga mob berdiri di atas dua blandar pengeret di tengah. Adapun sunduk pamanjang dan sunduk panyelak (sunduk kill) hanya terdapat diantara empat saka yang di tengah. Plafon menggunakan papan kayu dipasang mendatar di atas blandar. Bahan penutup atap berupa genteng kripik dengan bubungan berbahan seng. 

 

Umpak, saka pendhapa, serta sunduk pamanjang dan sunduk panyelak 

Dinding sisi depan pendhapa di ujung kiri-kanan berupa tembok dengan masing-masing sebuah jendela, sedang dinding bagian tengah berupa kombinasi kayu di bagian bawah dan kaca di bagian atas dengan dua daun pintu di tengah sebagai akses utama masuk ke pendhapa. Dinding camping kiri-kanan pendhapa berbahan pasangan bata, dengan dengan sebuah pintu dan sebuah jendela dengan posisi simetris pada masing-masing sisi dinding. Dua jendela tersebut pada sisi luar diberi jeruji / kisi-kisi kayu vertikal, sedang bagian dalam mempunyai dua daun jendela dengan sistem kupu tarung. Dinding sisi selatan (sisi dalam) dengan bahan pasangan bata diplester, dilengkapi dengan tiga buah pintu kayu berdaun ganda (kuputarung)dan rangkap luar-dalam. Di atas gawangan / kosen pintu diberi tebeng berornamen motif lung-lungan. Pintu yang di tengah mempunyai ukuran tebeng lebih tinggi dari dua tebeng pintu di kanan-kirinya. 

 

Bangunan Pringgitan beratap limasan tanpa tiang, karena struktur atap disangga oleh tembok pendhapa dan dalern ageng. Bahan atap pringgitan genteng kripik dengan bubungan berbahan seng. Pada sisi timur dan barat pringgitan masing-masing terdapat sebuah kamar. Kamar Sisi barat difungsikan sebagai ruang tidur sedang kamarsisitimur dulunya sebagai ruang makan, dan sekarang difungsikan sebagai ruang santai. Di tengah-tengah ruang pringgitan terdapat meja yang besar dan panjang. Menurut cerita, dahulu ruangan pringgitan ini sebagai ruang kerja Sastro Pratomo dan juga sebagai tempat untuk berdiskusi Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan Sastro Pratomo. Dinding pringgitan sisi selatan yang memisahkan pringgitan dengan dalem ageng terdapat tiga pintu yang simetris dengan pintu penghubung Pintu rangkap antara pringgitan dengan deem ageng 

pendhapa dan pringgitan. Pintu penghubung pringgitan dengan dalem ageng tersebut berdaun pintu ganda (kupu tarung) dan rangkap dua, sisi luar dan dalam. Ketiga pintu pada salah satu sisi, ketinggian daun pintu (ineb) hanya setengah tinggi dari daun pintu lainnya. Pada gawangan (kosen) di atas daun pintu diberi tebeng berornamen lung-lungan. Tebeng pintu tengah lebih tinggi dari tebeng pintu samping. 

 

Bangunan Dalem Ageng yang sering hanya disebut dalem (ndalem) berbentuk limasan lawakan, dengan delapan saka. Penutup atap genteng kripik dengan bubungan wuwung tanah liat (bukan krepus), sehingga memasangnya hanya dengan kawat dan paku yang dikaitkan dengan jurai. Saka berdiri di atas umpak batu putih, dan menopang rangkaian blandar pamanjang dan blandar panyelak (blandar pengeret ). Empat saka yang di tengah dilengkapi dengan dua sunduk pamanjang dan dua sunduk panyelak (sunduk kili). Di atas dua blandar pengeret di tengah berdiri dua ander yang menyangga molo. Usuk dipasang dengan sistem ri gereh, Patangaring dari bahan kayu jati sebagai dinding depan senthong tengen, senthong tengah, dan senthong kiwa. Masing-masing senthong dilengkapi dengan pintu, hanya sayang dinding senthong tengah sisi belakang saat ini dibuka dijadikan pintu penghubung antara dalem dan pawon/dapur. Keunikan dalem ageng rumah ini adalah adanya tambahan dua kamar berdinding kayu di kid - kanan senthong tengah. Masyarakat Setempat menamakan sepen yang berfungsi sebagai ruang tidur. Pada bagian jogan (lantai yang lebih rendah dad jerambah) sisi barat, terdapat sebuah tempat tidur yang konon pernah dipakai istirahat Jenderal Soedirman.

Bangunan gandhok tengen masih terlihat sisa bangunannya, longkangan antara pendhapa, dalern dan gandhok tengen sekarang sudah berubah jadi garasi,sedang sisi barat dalem, yang menurut kaidah bangunantradisionalJawa berdiri gandhok kiwa sudah berganti sebagai musholla dan bangunan penyertanya. 

Dapur / pawon di bagian paling belakang rangkaian rumah tradisional ini sudah mengalami perubahan. Disamping sebagai dapur, pada sisi barat telah ditambah dengan kamar mandi dan toilet.*** 

 

Srawing
Srawing
Peralatan makan dan minum di pendhapa
Peralatan makan dan minum di pendhapa
Umpak dan Saka Pendhapa
Umpak dan Saka Pendhapa
Bangunan Rumah Tradisional Tempat Singgah Jenderal Soedirman
Bangunan Rumah Tradisional Tempat Singgah Jenderal Soedirman