Dalam kehidupan manusia tentu melawati sebuah siklus kehidupan dari kelahiran di dunia hingga kematian. Dalam berbagai budaya yang tumbuh di masyarakat dapat dijumpai berbagai ragam ekspresi, nilai, filosofi, makna dalam sebuah adat tradisi daur hidup. Terkait dengan adat tradisi daur hidup yang tumbuh di Yogyakarta sampai saat ini gaya yang dikembangkan adalah Gaya Ngayogyakarta. Hal itu tentu tidak terlepas dari perjanjian Giyanti yang membagi wilayah Kerajaan Mataram menjadi dua yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Dalam bidang kebudayaan Kasultanan Yogyakarta mengembangkan budaya Mataraman. Dalam perjalanan waktu seringkali gaya Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan ataupun dengan gaya lain dalam sebuah daur hidup tercampur atau diterapkan secara bersamaan.
Seiring dengan waktu seorang gadis muda bernama Endang Sri Wahyuni anak dari pasangan suami istri R. Soekar Tjokrodiningrat dengan R. Ngt. Roestinah sering diajak atau dijadikan model rias pengantin oleh Ibu Marmin Sarjono dan Ibu Prajoko (wawancara dengan Ibu Patricia Wahyu Sulisasih Niken Dyah Sekar Piniji Sari, 7 September 2022). Dad seorang model rias pengantin Endang Sri Wahyuni mulai tertarik untuk mempelajari tentang adat tradisi daur hidup beserta segala ubarampe dan tata cara serta filosofinya. Endang Sri Wahyuni, perempuan kelahiran Yogyakarta, 25 Agustus 1940 itu awalnya secara otodidak belajar tentang busana adat dan upacara daur hidup. Catatan dari Dinas Kebudayaan Kota (Kundha Kabudayan ) Kota Yogyakarta aktivitas dalam hal tata busana dan rias serta upacara adat daur hidup sudah mulai dilakukan sejak tahun 1973. Pada tahun 1981 ketertarikan itu kemudian dilanjutkan dengan berguru kepada ibu Donolobo Dan ibu Marmin Sarjono serta ibu Prajoko untuk bidang sesajen. Tahun itu pula (1981) ibu Endang Sri Wahyuni yang telah menikah dengan H.P. Soedjonoworo pada tahun 1959 aktif di dalam organisasi Himpunan Ahli Tata Rias dan Busana Daerah (Hastanata). Di samping itu Ibu Endang Sri Wahyuni yang juga dikenal dengan nama Endang Soedjonoworo mulai terjun secara profesional sebagai piñata rias dan busana adat Gagrak Ngayogyakarta. Di Hastanata Ibu Endang Sri Wahyuni duduk sebagai sekretaris sejak tahun 1988. Jabatan ketua dipegangsejak tahun 2014 dan saat beliau meninggal dunia 26 Mei 2018.
Endang Sri Wahjuni, perempuan kelahiran 25 Agustus 1940, senang membagi ilmu, terutama melalui organisasi Hastanata. Spirit dan konsistensi terhadap pelestarian adat tradisi daur hidup tidak pernah surut meski sudah berusia senja. Bu Endang konsisten dalam mengawal adat tradisi Ngayogjakarta, khususnya dalam hal upacara daur hidup beserta kelengkapannya. Sebagai seorang perias beliau tidak mau menuruti permintaan konsumen jika yang diminta oleh konsumen keluar dari pakem. Seperti yang diungkapkan oleh sang anak yang mengikuti jejak sang ibu sebagai perias.
"Ibu tidak mau menerima order jika yang dikehendaki oleh yang punya hajat atau bahkan pengantinnya tetapi tidak mengikuti pakem, apalagi sampai mencampuradukkan model, seperti model Solo dan Yogya. Ibu tidak mau. Ibu akan memberi masukan dan menerangkan kepada konsumen secara detail. Apabila yang bersangkutan tidak mau menerima masukan maka akan diarahkan untuk mencari perias yang lain. Akan tetapi banyak yang kemudian memahami dan menerima masukan sehingga memakai model Yogya secara benar." (keterangan diberikan oleh Patricia Wahyu Sulisasih Niken Dyah Sekar Piniji Sari, tanggal 7 September 2022; keterangan yang hampir sama diberikan oleh Bapak Wigung Wratsangka wawancara lewat telepon pada tanggal 1 September 2022)
Oleh karena keterampilan dan pengetahuannya tentang upacara daur hidup berikut segala kelengkapannya dan tata riasnya, ibu Endang Sri Wahyuni banyak memiliki murid. Namun begitu kursus yang pernah didirikannya tidak bisa berkembang karena kesibukan dalam organisasi maupun profesinya. Murid yang belajar biasanya secara privat dan kemudian bias mandiri sebagai perias.
Belu aktif membagi ilmunya di lingkungan sekitar melalui organisasi Rukun Warga (RW), Kalurahan, Kecamatan dan pastinya melalui Organisasi Hastanata. Di samping aktif dalam adat tradisi daur hidup, Iiabu Endang Sri Wahyuni juga memiliki komitmen yang tinggi untuk adat tradisi lain seperti upacara Angon Putu.
Rumah beliau terbuka untuk kegiatan yang berkaitan dengan tata rias dan busana adat. Sehingga pendapa rumah di Cokrodiningratan JT. 11/146 RT 015/RW 004, Jetis, Yogyakarta, rumah yang ditempati oleh Ibu Endang Sri Wahyuni selalu ramai untuk beraktivitas para pelaku seni tata busana adat maupun para perias yang tergabung dalam Hastanata. Namun di masa tua ibu Endang Sri Wahyuni tinggal bersama salah seorang anaknya di JIn. Besole Raya No. 9, Trihanggo, Gamping, Sleman Yogyakarta.***