Bertahan selama Iebih dari 30 tahun didunia tari bukanlah waktu yang pendek. Tapi karena kecintaannya, Bimo Wiwohatmo selalu setia menggeluti dunia tail. Hingga kini puluhan karya koreografinya sudah dipentaskan. Sebenarnya semangat apa yang membuat dirinya rela jatuh bangun di dunia koreografi tari? "Sejak kecil saya memang sudah ingin menjadi seniman. Dan saya memang sudah menari jawa sejak usia 10 tahun". Pengalaman masa kecil itulah yang membuka karirnya sebagai penari dan koreografer hingga mencapai tingkat internasional.
Bimo Wiwohatmo lahir pada 12 mei 1957, is tidak pernah mengenyam pendidikan formal dalam bidangtari, is malah masuk SSRI untuk belajar
seni rupa di Yogyakarta. Kemudian di tahun 1978 berguru pada Bagong Kussudiarjo. Hampir selama 13 tahun ikut padepokan Bagong. Sampai akhirnya memutuskan untuk keluar dan membuat karya-karya sendiri. Meskipun selama di Padepokan Bagong ia telah menciptakan karya tari yang kemudian sangat popular di kalangan anak-anak, "Blek Dit dot". Tidak mudah memang membuat pertunjukan tunggal, tapi itu sudah menjadi pilihan dan harus dijalankan. Karya tari pertama Bimo adalah "Komposisi Nol" dan dilanjutkan dengan "Kubus-kubus' pada tahun 1985. Hasil koreografinya memang menawarkan inovasi baru, karena ia sangat senang bereksperimen dalam sisi visual panggung. Latar belakang pendidikannya di Seni Rupa tak lenyap begitu saja, justru memperkuat karya-karya koreografinya. "Dalam menciptakan karyanya, seorang koreografer mempunyai racikan sendiri. Walaupun ada istilah notasi laban, seperti not balok musik, tetap saja koreografer tidak harus mengikuti aturan itu. Saya sendiri biasanya berangkat dari inspirasi panggung dan lighting, baru kemudian bersama penari menciptakan gerak. Lalu komposisi itu dibuatkan sketsa dan alur. Karena seringkali penari pun lupa dengan gerakannya", ungkap Bimo.
Bagi Bimo, tad bukanlah melulu bicara hal teknis ketubuhan. Dalam proses kreatif, yang pertama kali harus dilakukan adalah menggali dan menemukan ide serta membangun imajinasi berdasar gagasan tersebut. Setiap elemen, balk bunyi, warna, cahaya, kostum, property dan lainnya bisa memberikan dorongan imajinasi dalam proses penciptaan. Itulah kenapa is lebih banyak menekuni tad kontemporer, karena is menemukan ruang kreativitas tanpa batas, tidak terikat oleh apapun. Kebebasan berekspresi dan tidak ada ikatan apapun adalah mimpi seorang seniman, tanpa ada penilaian salah dan benar. Menurut Bimo, tantangan terbesar seorang koreografer tad kontemporer adalah menciptakan tarian yang belum pernah dibuat orang lain. Orisinalitas dan otentisitas menjadi hal yang sangat penting. Maka faktor gagasan menjadi tulang punggung utama dalam proses penciptaan.
Setelah melalui proses kreatif yang panjang dan menghabiskan banyak biaya, pada tahun 1991 dia mendapatkan undangan dari People's Association, Singapura, untuk memberikan workshop kreativitas tari bagi masyarakat tari melayu selama 3 bulan. Dia kemudian menggeluti tari modern yang dalam pertemuannya dengan Izumi Nagano --penari dan komposer musik Jepang-- Bimo membuat tari eksperimental Banta'. Setahun kemudian is mendirikan Bimo Dance Theatre (1993) untuk menampung dan memberi saluran kreativitas seni pada mereka yang percaya pada kebebasan berekspresi, khususnya di bidang tari.
Kreativitas Bimo Wiwohatmo tidak sia-sia, setelah namanya melambung di dunia tad internasional, is pun mulai bergerak untuk menggelar sebuah festival tad internasional di Yogyakarta. Lahirlah "Interaction:Asian Modern Dance" di tahun 1998, ya ng telah melibatkan koreografer dari Jepang. Singapura, Malaysia, dan akan memperluas jaringannya dengan melibatkan penari Kanada dan Jerman.lnilah satu-satunya acara tad internasional di Yogyakarta pada waktu itu. Pada tahun yang sama, Bimo mengadakan Movement Exploration Workshop dan tinggal di Singapore selama lebih dad]. bulan.Setelah itu Bimo lebih banyak beraktivitas kesenian di beberapa negara seperti Singapura, Malaysia, dan Jepang.
Sejak tahun 2005 Bimo terlibat di Asia Tri Project, sebuah platform festival seni pertunjukan yang diinisiasi bersama seniman Korea dan Jepang. Sampai saat ini ia terus melakukan produksi karya, baik mandiri maupun kolaborasi. Beberapa kali melakukan kolaborasi dengan koreografer senior Takeshi Watanabe dari Kyoto Jepang, serta menjadi koreografer utama untuk World Culture Forum di Bali Th 2016.
Bimo Wiwohatmo sudah melahirkan putuhan karya dan menggelar berbagai event tari di dalam maupun di luar negeri. la telah membuktikan bahwa dunia seni tad tetap tumbuh secara dinamis, meskipun dihadang masalah pendanaan dan fasilitas. Tad akan terus bergerak menemukan jalannya sendiri.
Beberapa karya tarinya: The Garden of The Sun (kolaborasi dengan Takashi Watanabe, Jogja -Kyoto, 2018); Lotus (kolaborasi dengan Takashi Watanabe, Jogja - Kyoto, 2014) ; Jiwa (kolaborasi dengan Takashi Watanabe, Jogja - Kyoto, 2008); Delapan Repertoar (dipentaskan di Yogyakarta 1998), Peristiwa (GKJ, 1997), Samurai Spirit (Jogja-Solo, 1996), Lotus (Asia Modern Dance, Jepang, 1996), Angan-Angan (Jogja-Surabaya, 1994), Sangkalala (Jogja-Surabaya, 1994), Black and White (Asia Modern Dance, Jepang, 1994), Karma (Ultah TIM ke-25, Jakarta, 1993), Honshitsu (PSBK, bersama para penari Jepang, 1992). Bersama Izumi Nagano, 1996 mencipta komposisi musik berjudul Syahadatin dalam bentuk CD yang diproduksi di Singapura.***